War Takjil

Tiap tahun ada saja hal ramai yang diperbincangkan di linimasa saat bulan ramadhan tiba. Siapa lagi yang meramaikannya kalau bukan generasi Z. Terkadang hal yang diperbincangkan ini bisa saja adalah hal buruk yang kemudian meluas dan menjadikannya sebuah perbincangan dan perdebatan di semua media sosial. Contohnya pemilu presiden yang baru bulan lalu selesai dilakukan. Suasana di media sosial begitu panas kala itu, bahkan sekarang pun masih karena KPU belum juga mengumumkan pemenang pemilunya.

Hal yang sedang ramai terjadi di linimasa Ramadhan kali ini adalah soal takjil. Kata takjil merupakan serapan dari kata ajila, yang artinya dalam bahasa Arab adalah menyegarkan. Jika merujuk dalam KBBI, takjil memiliki dua makna. Arti pertama adalah mempercepat (dalam berbuka puasa) dan yang kedua adalah penganan dan minuman untuk berbuka puasa. Sebagian besar orang di sini lebih familiar dengan arti yang kedua, yakni penganan atau minuman untuk berbuka.

Selama sebulan penuh di Bulan Ramadan, banyak ditemui penjual makanan dan minuman dadakan di sore hari, pada jam-jam sebelum adzan magrib berkumandang. Penjual takjil ini dapat ditemui dengan mudah. Bisa di tepian jalan raya, gang-gang di kampung, atau lebih khusus lagi di sebuah lahan yang sengaja digunakan sebagai bazar takjil. Menu yang ditawarkan pun sangat beragam. Terkadang juga banyak penganan dan minuman yang hanya dijual dan ditemui saat bulan Ramadan saja. Oleh karena itu sore hari selama bulan suci ini menjadi ajang untuk berburu takjil. Tentu saja perburuan ini tidak hanya terjadi di kalangan umat muslim yang sedang menjalankan puasa, tetapi juga umat agama lain. Nah, guyonan-guyonan di linimasa berawal di sini. Istilah ‘war takjil’ pun menjadi trending topic belakangan ini.

War Takjil terjadi antara umat muslim dan umat non muslim. Sore hari adalah saat di mana tubuh sedang payah-payahnya untuk mereka yang berpuasa. Lemas, ngantuk, dan malas untuk melakukan apapun. Hal ini menjadi kesempatan bagi umat non muslim untuk mengawali berburu takjil, yang mana semua makanan dan minuman masih lengkap dan fresh. Kadang mereka ini lebih bersemangat untuk membeli beraneka rupa penganan dan minuman yang dijajakan. Kadang tak tanggung membuat penganan favorit yang dijual habis duluan, yang mana ini membuat ‘jengkel’ umat muslim yang datang belakangan. Maka terjadilah ‘war takjil’ ini. Saling umpat positif dari umat muslim dan non muslim pun meramaikan isi linimasa. Bahkan pastor yang sedang berkhotbah di gereja pun ikutan meramaikan. Misalnya,

“Entar pas paskah semua telur kita borong, biar yang nonis (non islam) pake kinderjoy.”

“Jangan sampai mereka tau kalo takjil d masjid gratis.”

“Pas natal pohonnya kita umpetin.”

“Nanti pas imlek kita beli semua jeruknya biar mereka sembahyang pake nutrisari jeruk.”

Ketika membaca ini yang kemudian terasa adalah kehangatan sebagai umat beragama yang beraneka ragam ini. Kadang masyarakat bawah lebih mudah menyatukan seluruh umat dengan hal-hal sepele ini. Sementara kalangan atas lebih mudah menceraiberaikannya. Dan kali ini bangsa Indonesia setelah tercerai berai pemilu disatukan kembali oleh takjil. Dan ini terjadi karena sisi kreatif yang kelewat batas dari Gen Z. Mereka yang menguasai sosial media, yang mana kalangan orangtua sangat sulit masuk ke sana. Mereka, dengan benar, adalah kekuatan sesungguhnya dari bangsa ini. Titik balik negara ini ada di tangan mereka. Sepatutnya kita berinvestasi besar-besaran untuk mereka.

Let’s Takjil War!

Yogyakarta, 19 Maret 2024